Senin, 23 Mei 2011

Menggenggam Pasir Part 5

     Percaya. Begitu sulitnya kah hal itu untuk dijaga dan dipelihara? Kepercayaan...hanya satu kata, sungguh perlu sejuta jalan untuk mendapatkannya namun hanya perlu sekejap untuk menghancurkannya, tak bersisa. Setiap rasa percaya yang kita berikan atau kita terima, memiliki harga yang harus dibayarkan. Jika kepercayaan itu sendiri disalahgunakan, hanya akan menyakiti dan membuat luka di hati. Kesetiaan dan pengorbanan adalah satu hal yang didasarkan atas rasa kepercayaan. Kepercayaan ada harganya. Ibu percaya. Ibu terluka, dan aku juga. Feri kembali kepada 'pacar tanpa restu'nya.
     Selama ini aku terlalu banyak mengira, lalu berharap. Harapan yang sia-sia. Setahun ini aku bergelut dengan pikiran dan hatiku. Berharap kalau yang kulakukan adalah salah. Aku selalu beranggapan bahwa kepercayaan berada di atas segalanya. Tidak ada yang bisa menggantikan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping. Tapi ternyata aku salah. Masih ada yang bisa berdiri di atas rasa percaya. Itulah cinta. Hanya karena cinta, ibu memaafkan ayah. Hanya karena cinta, akupun mulai memaafkan Feri. Cinta itu, yang mulai membuatku memupuk rasa percayaku lagi. Aku percaya padanya. Aku percaya dia akan kembali padaku. Aku percaya bahwa anggapanku lah yang salah. Aku percaya dia tidak bermaksud seperti itu. Aku percaya...lalu terluka.
     Hari ini aku menemukan Feri di salah satu sudut ruang guru di sekolahku bersama kedua orang tuanya yang sedang berbincang dengan kepala sekolahku. Feri memakai seragam yang sama denganku. Senyumku mengembang saat mata kami beradu dan dia menyapaku. Dia masuk sekolah ini...!!! aku bersorak dalam hati. Aku cepat-cepat kembali ke kelas dan menceritakannya pada sahabatku, Elly.
     "Yang mana sih orangnya? Aku jadi penasaran nih..." dia mengerucutkan bibirnya. Dari seantreo SMA ini, hanya teman-teman satu SMP-ku saja yang tahu hubunganku dan Feri, termasuk Elly. Dia jadi sahabatku dari SMP dan jadi teman sebangkuku di  SMA, sayang sekarang kami sudah pisah kelas. Keesokan harinya ku tunjukkan yang mana Feri padanya. Lama sekali Elly memandanginya.
     "Hmm...jadi ceritanya, dia adik kelas kita sekarang?" Elly menoleh padaku. Aku mengangguk. "Buat apa dia masuk sekolah di sini?" kali ini aku menggeleng. Aku tidak tahu. Feri tidak pernah mengungkit hal ini karena aku belum pernah menanyakannya. Mungkin saja karena sekolah ini adalah sekolah nomor satu di daerahku. Atau mungkin...."Jangan-jangan dia mau ngejar kamu?" Elly menggodaku. Aku mengelak dan cepat-cepat menariknya ke kantin. Namun, jujur...hal itu sempat terlintas dipikiranku. Apakah Tuhan memberikan kesempatan kedua padaku? untuk memperbaiki segalanya? Sungguh bukan hal yang mudah melupakan rasa cinta yang sudah tertanam lebih dari sepuluh tahun ini.
Seperti sudah kubilang, aku terlalu banyak mengira dan berharap. Aku terlalu percaya karena cinta. Sebulan setelah aku menunjukkan Feri pada Elly, Elly menarikku ke kelasnya.
     "Antia sayang, kamu tahu Ara kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Ara adalah teman sekelasku sekarang. 
     "kenapa?"
     "Nah..kamu tahukan kalau aku sama Ara satu ekskul?"
     "Iyaaa...terus kenapa?" Elly keliatan ragu-ragu.
     "Kemarin aku liat dia boncengan sama Feri." dia menatapku sebentar sebelum melanjutkan. "Sebenarnya, udah beberapa kali aku liat."
     "Ooh."
   Elly terlihat agak jengkel. Mungkin reaksi yang diharapkannya terjadi padaku tidak seperti yang dibayangkannya. Aku hanya diam saja. Karena jujur...aku meragukan apa yang dipikirkannya. Aku masih percaya, itu hanya boncengan biasa. Seperti biasa yang kulakukan jika tidak dijemput ibu. Seminggu kemudian setelah kegiatan ekskulku selesai, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Mereka berdua di atas satu motor. Feri agak terkejut saat melihatku. Aku tersenyum dengan paksa saat mata kami bertemu. Ara pun melihat ke arahku. Senyumnya agak aneh. Kurasa dia tahu apa hubungan kami dulu. Bagi Feri mungkin yang lalu biarlah berlalu, tapi bagiku? Ah, sudahlah...aku terlalu bodoh.
Setelah hari itu, mereka berdua seakan-akan ingin satu sekolah tahu hubungan mereka. Aku heran. Apa mereka tidak punya tempat pacaran yang lebih baik lagi selain di depan kelasku? Yang lebih menyebalkan, apa Feri tidak bisa mencari pacar di angkatannya saja? kenapa mesti seniornya? dan parahnya, kenapa mesti sekelas denganku?
     Di kelas baruku ini, aku punya orang-orang yang bisa kusebut sebagai sahabat. Tiga laki-laki dan seorang perempuan yang seperti laki-laki. Nanda, Arul, Seto dan Eci. Arul dan Eci tahu permasalahanku ini. Aku sungguh berterimakasih pada mereka berdua yang mau menemaniku atau kujadikan tameng jika Ara dan Feri ada di depan kelasku. Sebenarnya aku ingin menceritakannya juga pada Nanda dan Seto. Sayang mereka berdua sudah terlanjur benci pada Feri. Apakah aku belum menceritakannya? Feri memukul salah seorang teman seangkatanku. Sejak saat itu, dia menjadi salah satu adik kelas yang dimusuhi teman-temanku. Satu lagi ketidakpercayaanku bertambah. Dia bukan Feri yang kukenal.