Minggu, 28 Agustus 2011

Menggenggam Pasir Part 6

       Bertahun-tahun kupikir kehilangan Feri dan kelakuan ayahku adalah hal terburuk. Ternyata aku salah. Satu hal yang paling buruk dan paling kusesali adalah sikapku setelah kedua hal itu terjadi. Aku jadi manusia berbeda. Manusia paling egois yang pernah ada. Manusia tak berhati yang lupa apa itu keluarga. Manusia yang hanya ingin hidup sendiri tanpa gangguan orang lain. Manusia yang tidak pernah kau bayangkan. Manusia yang menyiksa dirinya sendiri agar tak ada satupun yang tahu dia terluka. Manusia yang hidup tanpa tahu apa itu arti bahagia. Manusia yang menyelubungi dirinya dengan 'topeng' dan 'jubah ' penuh kebohongan. Aku bahkan benci melihat bayanganku di cermin. Karena saat itu yang terlihat adalah 'topeng' dan 'jubah' yang seakan 'berjiwa' karena aku terlalu lama memakainya. Aku menjual diriku pada setan!
      Kupikir akulah satu-satunya yang hidup di dunia ini. Aku lupa kalau aku punya Ita. Adikku tumbuh menjadi remaja tanpa kasih sayang ayah dan kakaknya. Remaja yang mencoba bergantung padaku, tapi kutepis karena tak suka. Remaja rapuh yang sudah mengerti, orang-orang yang hidup dalam satu atap ini bukan keluarga. Remaja yang perlahan mulai menjual dirinya pada setan dengan narkoba dan zina.
      Aku tersentak. Tamparan itu benar-benar nyata. Aku menangis di balik topengku. Bertahun-tahun kutelantaran adik semata wayangku, lalu kujerumuskan dia ke lembah nista. Di usia sangat belia, ternyata dialah yang sungguh-sungguh menderita. Selama ini aku menutup mata. Aku buta karena kemarahan. Aku buta karena keegoisan. Aku buta karena sempitnya akal dan pikiranku. 
       Berminggu-minggu aku tak bisa tidur. Menyesali segala kebodohan yang telah kulakukan. Meratapi penyebab kepedihan yang luar biasa dalam bagi ibu. Aku rela menukar nyawaku agar keadaan kembali seperti sedia kala. 'Topeng' dan 'jubah'ku compang-camping. Untuk pertama kalinya aku kembali bersujud padaNya. Dengan lumpur malu dan hina aku kembali mengadu padaNya.
Tuhan...
kali ini aku datang dengan sejuta keluhan,
seandainya aku bisa memilih keadaanku, aku tidak akan begini tersiksa.
Tuhan...
aku sudah pernah bilang, aku rela menukar nyawaku demi kebahagiaan keluargaku, demi hilangnya sakit hati ibuku, demi berubahnya sikap ayahku, demi bertobatnya adikku,
Tuhan...
aku memang kurang berbuat untukMu,
aku malu...tapi aku tak bisa membagi bebanku pada siapapun selain hanya padaMu,
Tuhan...
aku memang tidak bahagia...hidup dalam keadaan seperti ini, aku hanya bisa terlihat tegar demi ibu, tapi tidak bisa melakukan apa-apa untuknya, yang berjuang seorang diri memiliki suami dan anak seperti 'itu'
Tuhan...
aku hanya punya diriMu yang bisa menolongku,
aku terus bepikir, apa yang bisa dan harus kulakukan?
apa yang otakku dan tanganku sanggup kerjakan? 
apa yang mampu mengubah segalanya?
Tuhan...
aku harap kau tak segan-segan,
karena tawaranku akan selalu berlaku.