Kamis, 28 April 2011

Menggenggam Pasir Part 4

     Malam itu aku mendengar penjelasan darinya. Lewat telepon! Feri bilang, dia hanya ingin coba-coba berhubungan dengan orang lain sebelum mendekatiku. Setelah dia berkata seperti itu, aku seakan-akan menulikan telingaku. Alasan apa itu?! Kalau memang ingin coba-coba, kenapa tidak langsung denganku? toh pada akhirnya akan denganku juga. Itu kalau dia benar-benar ingin bersamaku. Oke, aku akui kalau aku egois. Aku, yang masih trauma karena orang tuaku, tidak bisa menerima alasan itu. Aku marah! Setiap inchi akal sehatku menolak alasan itu. Laki-laki, apakah selalu bersikap berbelit-belit? Kenapa tidak langsung dan berterus terang. Terlebih aku mengetahuinya dari orang lain lebih dulu. Aku benci itu.
      Dia mengajakku keluar. Aku ikut dengan setengah hati. Mungkin kalian berpikir aku terlalu berlebihan. Masa hal seperti itu saja dipermasalahkan? Tapi bagiku, ini bukan hal sepele...diitambah pikiran 'aku sebagai pelarian' terus menggema di kepalaku. Bilang saja dia benar-benar mau pacaran denganku hanya karena aku pilihan yang dianggap 'aman' dan direstui oleh tante Laila. Sejak ayah memperlakukan ibu dengan buruk, aku membentengi diriku sekuat tenaga. Aku tidak ingin terluka lagi. Aku berpikir, mungkin tidak semua laki-laki seperti ayah. Aku meletakkan harapan besar pada Feri. Aku merasa bisa menemukan titik terang dalam hidupku. Aku merasa bisa bangkit lagi jika Feri ada di sisiku. Tapi ternyata, kesalahan sedikit saja bisa membuatku bersikap terbalik 180 derajat. Aku terlalu sensitif.
      Terus terang, aku masih sangat menyukainya. Namun aku masih tidak bisa menerima hal itu. Mungkin aku hanya butuh waktu. Hubunganku dan Feri menggantung selama tiga bulan. Feri beberapa kali mencoba menghubungiku. Dia juga mengenalkanku dengan teman-temannya di asrama. Aku mengelak berbicara dengannya. Bisa dibilang hampir setiap teleponnya tidak pernah aku terima lagi. Aku mulai mengkaji ulang pikiranku. Tiga bulan cukup membuatku ber'pikir' dengan hati dan lambat laun, kurasa hati dan pikiranku melunak. Ayah adalah ayah dan Feri adalah Feri. Meskipun mereka berjenis kelamin sama, mereka adalah dua orang yang berbeda. Sayang, saat aku merasa semuanya bisa membaik, Feri  datang menemuiku dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Padahal jauh-jauh hari aku berharap dia mau melanjutkan sekolah di SMA-ku selepas lulus SMP nanti dan memulai segalanya dari awal.
     Ini semua salahku. Aku memang tidak menceritakan semuanya pada Feri. Aku tidak ingin dia mengetahui bagaimana keadaan hatiku dan keadaan keluargaku. Aku bukan tipe orang yang mudah terbuka, sekalipun pada orang tuaku sendiri. Bukan salahnya untuk mengakhiri hubungan kami. Dia lelah dan aku menyadarinya. Aku hanya tidak sadar bahwa semuanya akan berakhir secepat ini. 
Perlahan, kurasakan air mataku mengelus pipiku, lembut.

Minggu, 24 April 2011

Menggenggam Pasir Part 3

       Ingatan-ingatanku setelah kejadian itu kututup rapat-rapat. Aku tidak ingin mengingat lebih jauh lagi. Sejak saat itu, ada 'sesuatu' yang hilang dari keluarga ini. Sekalipun ayah tetap berada di tengah-tengah kami, karena sakit hati atas kejadian itu terus membekas di benak. Hari demi hari perjalanan hidupku kurasakan mulai menghambar.  Siklus hidup yang itu-itu saja tidak membuatku bergairah. Setahun terakhir ini tubuh dan jiwaku seperti 'hidup segan mati tak mau'. Tapi semua itu berakhir saat dia menemuiku. 
     Namanya Feri. Aku tidak mengenalnya dalam dua atau tiga bulan. Aku mengenalnya sejak umurku tujuh tahun. Maklum, dia kan tetanggaku. Feri mempunyai dua orang kakak laki-laki. Ari dan Nazri Selisih umur mereka dua sampai lima tahun. Hanya Feri yang seumuran denganku. Kalau dihitung-hitung, aku mengenalnya selama hampir tujuh tahun. Dan, tahukah kalian? selama itu juga aku menyukainya.
     Aku ingat. Malam itu, Feri datang dengan Najri dan Wilda, sepupunya. Mereka mengajakku keluar untuk makan bakso dan akhirnya aku tahu tujuan asli mereka mengajakku. Feri! Kalau diingat-ingat, lucu juga. Aku seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Bulir-bulir kecil keringat mulai bermunculan di pelipisku. Berbicara berhadapan dengannya membuatku salah tingkah. Bahkan, kalau didengarkan dengan seksama, kadang-kadang ucapanku melantur. Ditambah lagi, Nazri dan Wilda yang tidak henti-hentinya menggodaku.
     Seminggu kemudian Wilda datang lagi, membawa pesan dari Feri. Saat itu aku sedang di loteng. Entah karena Wilda yang gugup, atau aku yang tidak sabaran, aku merasa Wilda berbicara berbelit-belit. Tapi tak urung juga, aku mengulum senyumku. Feri memintaku menjadi pacarnya.
     "Jadi, bagaimana?" Wilda melirik beberapa kali. Aku menatapnya.
     "Dia perlu jawabannya sekarang?"
    "Loh? ya iya lah. Tuh orangnya nungguin kamu di bawah." Wilda mengarahkan telunjuknya ke bawah jendelaku. Aduh, ibu! bagaimana aku menjawabnya? aku ingin turun menemuinya. Tapi di bawah masih ada orang tuaku. Aku takut mereka tidak mengizinkan anak kecil seperti kami berpacaran. Akhirnya aku memutuskan untuk menulis di atas kertas.
     Dicoba dulu gimana? Kalau cocok kita lanjut, kalau nggak ya...liat nanti.
     Kulipat kertasnya kecil-kecil. Bahkan Wilda 'si kurir cinta' pun tidak kuizinkan untuk melihat isinya. Aku menjulurkan kepalaku. Di bawah sana Feri tersenyum manis. Aku melambai padanya dan kulempar jawaban atas pernyataannya. Sialnya, aku tidak melihat Nazri di situ. Dan parahnya, Nazri yang menyambut kertasku, membukanya, dan membacanya keras-keras. Aku cepat-cepat menarik kepalaku. Rasanya malu sekali.
***
     Aku mengayuh sepedaku cepat-cepat. Panasnya terik matahari membakar seluruh tubuhku, membuatku banjir keringat. Belum lagi asap-asap dari knalpot di sepanjang jalan menambah bumbu perjalanan sepulang sekolahku. Iya. Aku pulang pergi naik sepeda. Kedua orang tuaku sibuk dan tidak bisa mengantar jemputku.  Begitu juga Ita. Ibu mengupah seseorang untuk mengantar dan menjemput Ita.. 
      Meski panas, aku tetap bersemangat mengayuh sepedaku. Hari ini Feri pulang. Sudah hampir enam bulan aku dan Feri berpacaran. Banyak suka dan duka yang kami jalani. Terlebih hubungan kami, hubungan jarak jauh. Feri pindah sekolah ke Solo. Saat aku masuk ke SMA, Feri kelas tiga SMP. Padahal dulu kami setingkat. Bukan karena Feri tidak naik kelas, tapi Feri terpaksa mengulang setahun karena sistem sekolahnya berbeda dari sekolah asal dulu.
Sebenarnya, ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Kira-kira tiga minggu yang lalu Wilda bercerita padaku kalau Feri pernah pacaran sebelum denganku. Wilda bilang, gadis itu adalah adik kelasku. Feri putus dengannya karena tante Lila (mamanya Feri) tidak suka dengannya. Aku tidak mengerti. Selama ini Feri tidak pernah mengungkit-ungkit hal ini sehingga lambat laun  membuatku berpikir aku hanya sebagai pelarian. Tapi kutepis pikiran itu jauh-jauh. Malam ini, aku akan minta penjelasan darinya.

     
     

Kamis, 21 April 2011

Tuhan, Alam, dan Aku

Tuhan...
menciptakan alam dengan segala keindahanNya
menerangi malam dengan bulan purnamaNya
menyisipkan bintang dengan penuh kemilauNya

Tuhan...
alamMu mendengkur indah,
perlahan membisikkan sejuta salam,
menceritakan semua kisah dalam kelam

Tuhan...
bila mentariMu 'kan datang?
kapan Sang suryaMu menyingkirkan malam?

Tuhan...
malamMu menyelami hati
menenggelamkan mimpi...
tapi, malamMu hidup dalam diri
penuh harapan dan impian

Tuhan...
ketika aku menengadah menatap langitMu
kusadari betapa kecilnya tubuh ini
bergoyang diterpa angin,,
seperti goyahnya pendirian hati

Tuhan...
alamMu mendengkur halus
merangkulku dalam gelap
di sini...aku menatapMu

Jumat, 15 April 2011

Menggenggam Pasir Part 2

       Sepulang sekolah aku langsung menuju rumah sakit Dr. Priyanto. Aku menyebutnya RS DP. Ini rumah sakit langganan tempat Ita dirawat sejak dia sakit dan harus di rawat pertama kalinya. Kalau dihitung-hitung, mungkin Ita sudah opname hampir dua puluh kali dan aku yakin hampir seluruh perawat bagian anak mengenal Ita. Ibuku bahkan tidak perlu mengurus administrasi rawat inap untuk mengopname adikku karena suster-susternya yang mengerjakan. Pernah suatu kali, saat ibuku tidak berjualan dan tidak punya uang untuk keluar dari DP (ayahku lagi-lagi tidak ada), ibuku hanya meninggalkan KTP-nya. Itu sebabnya rumah sakit ini ditetapkan sebagai rumah sakit pribadi keluarga kami.
       Begitulah tahun demi tahun berlalu. Semuanya mulai berubah saat aku kelas dua SMP dan Ita duduk di kelas tiga SD. Malam itu seperti malam-malam sebelumnya. Sehabis maghrib aku turun dari loteng sambil membawa buku PR ku. Di meja makan ayah duduk sembari menghirup kopinya. Kulihat Ita sudah sibuk membantu ibuku menyiapkan dagangan besok. aku mengambil tempat di sampingnya dan kami mulai bercanda. Aku tidak mengerti bagaimana kejadiannya, tapi tiba-tiba saja terdengar bunyi 'braaak' yang sangat nyaring. Aku dan Ita menoleh.
       Untuk pertama  kalinya dalam hidupku, aku begitu takut. Seluruh makanan di atas meja berhamburan di lantai. Ayahku berdiri dan mulai berteriak-teriak sambil menendang-nendang batang paha ibu. Telingaku tidak menangkap jelas apa yang diributkan mereka berdua. Aku rasakan air mataku menjebol keluar dengan derasnya. Ita yang tidak terima atas perlakuan ayah ke ibu berusaha mendorong-dorong ayah. Dia menangis dan mengeluarkan semua sumpah serapah yang diketahuinya sampai saat ini. Detak jantungku tidak beraturan, napasku memburu, rasanya tenagaku drop dan merembes keluar dari telapak kakiku. Aku berusaha menarik Ita sebisaku agak tidak ikut tersepak ayah. Ayah seperti orang kesetanan. Lidahku kelu. Semakin aku berusaha bicara, semakin kabur penglihatanku oleh air mata. Hanya satu kata yang bisa keluar dari mulutku.
       "Sudaaah!!"
    Aku mengucapkannya dengan gemetar karena berikutnya aku melihat ibuku yang kesetanan. Ibu mengambil pisau didepannya dan mulai mengacung-acungkannya pada ayah.
        "KELUARRR !!!"  Aku melepas Ita dan mulai menarik ibu. 
        "Cukup, Buu!! Huuu..., Buu!!!"
       Ibu mengibaskan lengannya tapi kubelit sebisaku. "KELUARR!!! KALAU KAU TIDAK MAU MATI, KELUAR SEKARAAANNGG!!"
       Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Rupanya ribut-ribut ini benar-benar tidak bisa disembunyikan. Saat itu aku melihat tetua kampung kami masuk ke dalam rumah dan berusaha menengahi. Beberapa tetangga yang terkenal dekat dengan ibu mengikuti dari belakang menyuruh ibu menurunkan pisaunya dan mulai menenangkan ibu. Sebagian lagi mendudukkanku dan Ita. Mereka bertanya 'ada-apa' 'ada-apa'. Kami tidak menyahut. Suara-suara gaduh di rumahku mulai diisi suara tangisku, Ita dan ibu. Selanjutnya yang kutahu, ayah ditarik oleh tetua kampung ke rumah ketua RT kami.

Kamis, 07 April 2011

Menggenggam Pasir Part 1

      Namaku Antia.  Mungkin kalian bertanya-tanya siapa aku. Jika kalian lihat, aku hanyalah seorang gadis cilik yang perlahan tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa.Tapi sebenarnya, tahukah kalian? sejak aku kecil aku sudah dewasa. Jangan salah sangka, aku bukan menyombongkan diri. Itu adalah kenyataan. Aku akan mengisahkan pada kalian semua tentang kehidupanku. Kalau kalian merasa tidak tertarik,  cukup sampai di sini kalian membaca tulisan ini. Aku tidak akan memaksa kalian untuk tetap membacanya sampai selesai. Kalau kalian masih ragu-ragu, akupun tidak akan merayu kalian agar tertarik. Tidak peduli apa pendapat kalian, aku akan tetap melanjutkan kisahku.

     Aku hidup bersama kedua orang tuaku dan seorang adik perempuan. Ayahku seorang mandor dari satu proyek ke proyek lainnya. Sedangkan ibuku adalah seorang penjual sayur. Meskipun profesi kedua orang tuaku seperti itu, keadaan kami bisa dibilang keluarga yang berada. Kehidupan masa kanak-kanakku bisa dibilang menyenangkan. Rasanya semakin sempurna saat aku berumur lima tahun, ibuku melahirkan adik perempuan yang sangat cantik dan  membuatku menjadi seorang kakak. Aku menyayanginya dari hatiku yang paling dalam.
     Orang bilang, kasih sayang orang tua akan berkurang seiring dengan hadirnya anggota keluarga yang baru. Itulah yang terjadi padaku. Aku tidak menyalahkan mereka. Sebagai seorang kakak, aku sangat mengerti keadaan ini. Orang tuaku sibuk bekerja dari pagi sampai sore, dan ketika mereka pulang, hanya adikku yang lucu itu saja yang dapat menghibur kelelahan dan keletihan mereka. Itu benar. Kadang akupun tidak sabar untuk segera pulang ke rumah dan bermain dengannya. Orang tuaku menamakannya Ita.
Ita tumbuh menjadi seorang anak yang lucu. Kulitnya putih bersih dan matanya bulat. Dia benar-benar cantik. Potongan rambutnya yang seperti laki-laki tidak membuatnya terlihat jelek, malah sebaliknya. Jika kami berjalan beriringan atau duduk berdampingan, banyak orang yang bilang bahwa kami berdua tidak mirip. Itu juga benar. Kulirik tubuhku yang hitam kecoklatan. Mataku juga biasa-biasa saja. Walau jauh dari kategori cantik, orang-orang menyebutku manis (aku yakin itu hanya untuk menghiburku). Haha...
Sayang adikku yang lucu itu sering sakit-sakitan sejak TK. Hal ini terus berlanjut sampai Ita SD.Seperti malam ini. Tubuhnya yang gempal terguncang saat batuknya menjadi-jadi. Mata Ita memutih dan dia mulai menangis. Ibu menatapku.
       "Kemasi barang-barang! Kita berangkat sekarang."
      Aku langsung mengerjakannya tanpa bertanya-tanya lagi. Hal ini sudah menjadi rutinitas bagi kami. Jika Ita sudah menunjukkan gejala-gejala seperti itu, maka sesudahnya bisa ditebak. Ita akan memuntahkan seluruh isi perutnya dan mulai kejang.Aku tidak tega melihatnya seperti itu.
Tanganku meraih termos kecil dan memasukkannya ke dalam tas kain. Lalu aku mulai berlari ke kamar dan mengambil beberapa lembar baju Ita. ibu memasangkan jaket Ita ketika aku sudah selesai mengemasi barang yang akan dibawa.
    "Ya, kamu jaga rumah ya. Jangan kemana-mana." Ibu menaikkan Ita di jok belakang motor dan mengikatnya dengan selendang ke tubuhnya sendiri. Aku mengangguk.
       "Hati-hati, Bu."
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi ibu pergi membawa Ita naik motor. Sendirian. Aku masuk ke dalam rumah dan menguncinya.Kulirik jam dinding. Jam dua pagi. Saat seperti ini ayahku malah tidak ada. Entah proyek apa yang dikerjakannya sampai bekerja semalam ini. Aku duduk gelisah di ruang tamu menunggu telepon dari ibuku. Sejam kemudian datang telepon dari ibuku bahwa Ita memang harus diopname. Setelah memastikan semua baik-baik saja, aku pergi tidur.
***