Minggu, 24 April 2011

Menggenggam Pasir Part 3

       Ingatan-ingatanku setelah kejadian itu kututup rapat-rapat. Aku tidak ingin mengingat lebih jauh lagi. Sejak saat itu, ada 'sesuatu' yang hilang dari keluarga ini. Sekalipun ayah tetap berada di tengah-tengah kami, karena sakit hati atas kejadian itu terus membekas di benak. Hari demi hari perjalanan hidupku kurasakan mulai menghambar.  Siklus hidup yang itu-itu saja tidak membuatku bergairah. Setahun terakhir ini tubuh dan jiwaku seperti 'hidup segan mati tak mau'. Tapi semua itu berakhir saat dia menemuiku. 
     Namanya Feri. Aku tidak mengenalnya dalam dua atau tiga bulan. Aku mengenalnya sejak umurku tujuh tahun. Maklum, dia kan tetanggaku. Feri mempunyai dua orang kakak laki-laki. Ari dan Nazri Selisih umur mereka dua sampai lima tahun. Hanya Feri yang seumuran denganku. Kalau dihitung-hitung, aku mengenalnya selama hampir tujuh tahun. Dan, tahukah kalian? selama itu juga aku menyukainya.
     Aku ingat. Malam itu, Feri datang dengan Najri dan Wilda, sepupunya. Mereka mengajakku keluar untuk makan bakso dan akhirnya aku tahu tujuan asli mereka mengajakku. Feri! Kalau diingat-ingat, lucu juga. Aku seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Bulir-bulir kecil keringat mulai bermunculan di pelipisku. Berbicara berhadapan dengannya membuatku salah tingkah. Bahkan, kalau didengarkan dengan seksama, kadang-kadang ucapanku melantur. Ditambah lagi, Nazri dan Wilda yang tidak henti-hentinya menggodaku.
     Seminggu kemudian Wilda datang lagi, membawa pesan dari Feri. Saat itu aku sedang di loteng. Entah karena Wilda yang gugup, atau aku yang tidak sabaran, aku merasa Wilda berbicara berbelit-belit. Tapi tak urung juga, aku mengulum senyumku. Feri memintaku menjadi pacarnya.
     "Jadi, bagaimana?" Wilda melirik beberapa kali. Aku menatapnya.
     "Dia perlu jawabannya sekarang?"
    "Loh? ya iya lah. Tuh orangnya nungguin kamu di bawah." Wilda mengarahkan telunjuknya ke bawah jendelaku. Aduh, ibu! bagaimana aku menjawabnya? aku ingin turun menemuinya. Tapi di bawah masih ada orang tuaku. Aku takut mereka tidak mengizinkan anak kecil seperti kami berpacaran. Akhirnya aku memutuskan untuk menulis di atas kertas.
     Dicoba dulu gimana? Kalau cocok kita lanjut, kalau nggak ya...liat nanti.
     Kulipat kertasnya kecil-kecil. Bahkan Wilda 'si kurir cinta' pun tidak kuizinkan untuk melihat isinya. Aku menjulurkan kepalaku. Di bawah sana Feri tersenyum manis. Aku melambai padanya dan kulempar jawaban atas pernyataannya. Sialnya, aku tidak melihat Nazri di situ. Dan parahnya, Nazri yang menyambut kertasku, membukanya, dan membacanya keras-keras. Aku cepat-cepat menarik kepalaku. Rasanya malu sekali.
***
     Aku mengayuh sepedaku cepat-cepat. Panasnya terik matahari membakar seluruh tubuhku, membuatku banjir keringat. Belum lagi asap-asap dari knalpot di sepanjang jalan menambah bumbu perjalanan sepulang sekolahku. Iya. Aku pulang pergi naik sepeda. Kedua orang tuaku sibuk dan tidak bisa mengantar jemputku.  Begitu juga Ita. Ibu mengupah seseorang untuk mengantar dan menjemput Ita.. 
      Meski panas, aku tetap bersemangat mengayuh sepedaku. Hari ini Feri pulang. Sudah hampir enam bulan aku dan Feri berpacaran. Banyak suka dan duka yang kami jalani. Terlebih hubungan kami, hubungan jarak jauh. Feri pindah sekolah ke Solo. Saat aku masuk ke SMA, Feri kelas tiga SMP. Padahal dulu kami setingkat. Bukan karena Feri tidak naik kelas, tapi Feri terpaksa mengulang setahun karena sistem sekolahnya berbeda dari sekolah asal dulu.
Sebenarnya, ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Kira-kira tiga minggu yang lalu Wilda bercerita padaku kalau Feri pernah pacaran sebelum denganku. Wilda bilang, gadis itu adalah adik kelasku. Feri putus dengannya karena tante Lila (mamanya Feri) tidak suka dengannya. Aku tidak mengerti. Selama ini Feri tidak pernah mengungkit-ungkit hal ini sehingga lambat laun  membuatku berpikir aku hanya sebagai pelarian. Tapi kutepis pikiran itu jauh-jauh. Malam ini, aku akan minta penjelasan darinya.

     
     

0 komentar:

Posting Komentar