Kamis, 07 April 2011

Menggenggam Pasir Part 1

      Namaku Antia.  Mungkin kalian bertanya-tanya siapa aku. Jika kalian lihat, aku hanyalah seorang gadis cilik yang perlahan tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa.Tapi sebenarnya, tahukah kalian? sejak aku kecil aku sudah dewasa. Jangan salah sangka, aku bukan menyombongkan diri. Itu adalah kenyataan. Aku akan mengisahkan pada kalian semua tentang kehidupanku. Kalau kalian merasa tidak tertarik,  cukup sampai di sini kalian membaca tulisan ini. Aku tidak akan memaksa kalian untuk tetap membacanya sampai selesai. Kalau kalian masih ragu-ragu, akupun tidak akan merayu kalian agar tertarik. Tidak peduli apa pendapat kalian, aku akan tetap melanjutkan kisahku.

     Aku hidup bersama kedua orang tuaku dan seorang adik perempuan. Ayahku seorang mandor dari satu proyek ke proyek lainnya. Sedangkan ibuku adalah seorang penjual sayur. Meskipun profesi kedua orang tuaku seperti itu, keadaan kami bisa dibilang keluarga yang berada. Kehidupan masa kanak-kanakku bisa dibilang menyenangkan. Rasanya semakin sempurna saat aku berumur lima tahun, ibuku melahirkan adik perempuan yang sangat cantik dan  membuatku menjadi seorang kakak. Aku menyayanginya dari hatiku yang paling dalam.
     Orang bilang, kasih sayang orang tua akan berkurang seiring dengan hadirnya anggota keluarga yang baru. Itulah yang terjadi padaku. Aku tidak menyalahkan mereka. Sebagai seorang kakak, aku sangat mengerti keadaan ini. Orang tuaku sibuk bekerja dari pagi sampai sore, dan ketika mereka pulang, hanya adikku yang lucu itu saja yang dapat menghibur kelelahan dan keletihan mereka. Itu benar. Kadang akupun tidak sabar untuk segera pulang ke rumah dan bermain dengannya. Orang tuaku menamakannya Ita.
Ita tumbuh menjadi seorang anak yang lucu. Kulitnya putih bersih dan matanya bulat. Dia benar-benar cantik. Potongan rambutnya yang seperti laki-laki tidak membuatnya terlihat jelek, malah sebaliknya. Jika kami berjalan beriringan atau duduk berdampingan, banyak orang yang bilang bahwa kami berdua tidak mirip. Itu juga benar. Kulirik tubuhku yang hitam kecoklatan. Mataku juga biasa-biasa saja. Walau jauh dari kategori cantik, orang-orang menyebutku manis (aku yakin itu hanya untuk menghiburku). Haha...
Sayang adikku yang lucu itu sering sakit-sakitan sejak TK. Hal ini terus berlanjut sampai Ita SD.Seperti malam ini. Tubuhnya yang gempal terguncang saat batuknya menjadi-jadi. Mata Ita memutih dan dia mulai menangis. Ibu menatapku.
       "Kemasi barang-barang! Kita berangkat sekarang."
      Aku langsung mengerjakannya tanpa bertanya-tanya lagi. Hal ini sudah menjadi rutinitas bagi kami. Jika Ita sudah menunjukkan gejala-gejala seperti itu, maka sesudahnya bisa ditebak. Ita akan memuntahkan seluruh isi perutnya dan mulai kejang.Aku tidak tega melihatnya seperti itu.
Tanganku meraih termos kecil dan memasukkannya ke dalam tas kain. Lalu aku mulai berlari ke kamar dan mengambil beberapa lembar baju Ita. ibu memasangkan jaket Ita ketika aku sudah selesai mengemasi barang yang akan dibawa.
    "Ya, kamu jaga rumah ya. Jangan kemana-mana." Ibu menaikkan Ita di jok belakang motor dan mengikatnya dengan selendang ke tubuhnya sendiri. Aku mengangguk.
       "Hati-hati, Bu."
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi ibu pergi membawa Ita naik motor. Sendirian. Aku masuk ke dalam rumah dan menguncinya.Kulirik jam dinding. Jam dua pagi. Saat seperti ini ayahku malah tidak ada. Entah proyek apa yang dikerjakannya sampai bekerja semalam ini. Aku duduk gelisah di ruang tamu menunggu telepon dari ibuku. Sejam kemudian datang telepon dari ibuku bahwa Ita memang harus diopname. Setelah memastikan semua baik-baik saja, aku pergi tidur.
***

0 komentar:

Posting Komentar