Jumat, 15 April 2011

Menggenggam Pasir Part 2

       Sepulang sekolah aku langsung menuju rumah sakit Dr. Priyanto. Aku menyebutnya RS DP. Ini rumah sakit langganan tempat Ita dirawat sejak dia sakit dan harus di rawat pertama kalinya. Kalau dihitung-hitung, mungkin Ita sudah opname hampir dua puluh kali dan aku yakin hampir seluruh perawat bagian anak mengenal Ita. Ibuku bahkan tidak perlu mengurus administrasi rawat inap untuk mengopname adikku karena suster-susternya yang mengerjakan. Pernah suatu kali, saat ibuku tidak berjualan dan tidak punya uang untuk keluar dari DP (ayahku lagi-lagi tidak ada), ibuku hanya meninggalkan KTP-nya. Itu sebabnya rumah sakit ini ditetapkan sebagai rumah sakit pribadi keluarga kami.
       Begitulah tahun demi tahun berlalu. Semuanya mulai berubah saat aku kelas dua SMP dan Ita duduk di kelas tiga SD. Malam itu seperti malam-malam sebelumnya. Sehabis maghrib aku turun dari loteng sambil membawa buku PR ku. Di meja makan ayah duduk sembari menghirup kopinya. Kulihat Ita sudah sibuk membantu ibuku menyiapkan dagangan besok. aku mengambil tempat di sampingnya dan kami mulai bercanda. Aku tidak mengerti bagaimana kejadiannya, tapi tiba-tiba saja terdengar bunyi 'braaak' yang sangat nyaring. Aku dan Ita menoleh.
       Untuk pertama  kalinya dalam hidupku, aku begitu takut. Seluruh makanan di atas meja berhamburan di lantai. Ayahku berdiri dan mulai berteriak-teriak sambil menendang-nendang batang paha ibu. Telingaku tidak menangkap jelas apa yang diributkan mereka berdua. Aku rasakan air mataku menjebol keluar dengan derasnya. Ita yang tidak terima atas perlakuan ayah ke ibu berusaha mendorong-dorong ayah. Dia menangis dan mengeluarkan semua sumpah serapah yang diketahuinya sampai saat ini. Detak jantungku tidak beraturan, napasku memburu, rasanya tenagaku drop dan merembes keluar dari telapak kakiku. Aku berusaha menarik Ita sebisaku agak tidak ikut tersepak ayah. Ayah seperti orang kesetanan. Lidahku kelu. Semakin aku berusaha bicara, semakin kabur penglihatanku oleh air mata. Hanya satu kata yang bisa keluar dari mulutku.
       "Sudaaah!!"
    Aku mengucapkannya dengan gemetar karena berikutnya aku melihat ibuku yang kesetanan. Ibu mengambil pisau didepannya dan mulai mengacung-acungkannya pada ayah.
        "KELUARRR !!!"  Aku melepas Ita dan mulai menarik ibu. 
        "Cukup, Buu!! Huuu..., Buu!!!"
       Ibu mengibaskan lengannya tapi kubelit sebisaku. "KELUARR!!! KALAU KAU TIDAK MAU MATI, KELUAR SEKARAAANNGG!!"
       Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Rupanya ribut-ribut ini benar-benar tidak bisa disembunyikan. Saat itu aku melihat tetua kampung kami masuk ke dalam rumah dan berusaha menengahi. Beberapa tetangga yang terkenal dekat dengan ibu mengikuti dari belakang menyuruh ibu menurunkan pisaunya dan mulai menenangkan ibu. Sebagian lagi mendudukkanku dan Ita. Mereka bertanya 'ada-apa' 'ada-apa'. Kami tidak menyahut. Suara-suara gaduh di rumahku mulai diisi suara tangisku, Ita dan ibu. Selanjutnya yang kutahu, ayah ditarik oleh tetua kampung ke rumah ketua RT kami.

0 komentar:

Posting Komentar