Rabu, 22 Februari 2012

Pisangku sayang

     Rubi berlari masuk rumah. Dia membanting pintu di belakangnya. Wajahnya ditekuk kesal. Luna sudah ribuan kali mencela dan menjelek-jelekkan dirinya.
     "Astapirulohh. Rubi! Kalo masuk mbo ya ngucapin 'assalamualaikum' dulu."
Rubi melirik sekilas. Bunda lari-lari dari dapur sambil membawa sutil kesayangannya.
     "Bunda udah berapa kali bilang? Nanti bunda dikira ndak mendidik kamu yang benar."
   "Iya, Bunda. Iya! Maaf." Rubi melepas sepatu dan kaos kakinya. "Assalamualaikum!"
     "Kok ndak ikhlas gitu?" Bunda melipat tangannnya di dada.
     Rubi manyun. "Bunda, ih! Nggak liat apa Rubi lagi bete?"
     "Bete?" Bunda mengerutkan kening. "Bete apaan toh nduk?"
   "Bundaaaaaa!" Rubi menjerit tertahan. Dia melewati bunda tanpa menoleh-noleh lagi. Kalo Rubi nggak buru-buru pergi dari situ, nanti Rubi tambah emosi trus numpahin amarah ke bunda dan berubah jadi anak durhaka.
     "Habis ganti baju, langsung makan ya, Bi!" pesan bunda, sebelum Rubi hilang di ujung tangga.
     Rubi meilempar tas sekolah di atas meja belajar. Dia melepas seragamnya dan duduk di pinggir beranda. Rubi perlu mendinginkan kepalanya dulu. Belum sampai lima menit duduk, suara bunda yang medok menggelegar dari bawah. Rubi mengganti kaosnya dan terpaksa turun.
     Rubi menatap meja makan. Itu dia. Pangkal dari segala masalahnya. Yang membuatnya diolok-olok setiap saat di sekolah. Sesuatu yang bertengger dengan manis di atas piring. Yang selalu disediakan bunda untuknya. Sesuatu berwarna kuning keemasan. Kalo masak rasanya manis. Kalo mentah, alot dan pahit. Itu. Buah kesukaan Rubi. Juga kesukaan monyet. Pisang.
***
     "Nyet, mau kemana lo?" Agus melingkarkan lengannya di bahu Rubi. 
     Rubi menyodokkan sikunya. "Suka-suka gue, Yam!"
     Agus meringis. "Galak amat sih lo!"
     "Bodo!" Rubi cepat-cepat ngibrit ke kantin. Dia dari dulu bertekad. Siapapun yang memanggilnya makhluk 'Teori Darwin', Rubi akan membalas dengan meminjam nama -saudara-sepupu-sanak keluarga- di kerajaan hutan sesuai nama depan mereka.
     "Eh, Monyet!! Sini!" Hedi melambai padanya begitu Rubi sampai. Luna juga ada, duduk di hadapan Hedi. Dengan malas, Rubi mendekati keduanya. 
   Hedi. Dengan semangat milleniumnya, berusaha mendamaikan kami. Rubi membuang muka. Tanpa disangka, Luna pun angkat suara.
  "Nyet...maafin gue deh. Gue janji nggak bakal ngejek-ngejek pisang lo lagi," Luna menarik ujung seragamnya.
     "Eh, Landak! lo niat minta maaf nggak sih? Kok masih 'nyat-nyet-nyat-nyet' aja?" Rubi mendelik.
   Luna serba salah. "Eh, iya, iya. Gue minta maaf soal itu juga...Bi," ujar Luna, setelah susah payah mengontrol lidahnya.
     "Iya. Gue maafin," Rubi mendengus. "Tapi kali ini aja."
     "Okee! Siap bu...," Luna mengerem mulutnya. Hampir saja 'nyet' meluncur indah.
     "Lun, emang kenapa sih lo sampai ngejelek-jelekin pisang gue, trus menghina dina gue kayak gitu?" tanya Rubi, setelah berpikir sejenak.
     "Kayak gue nggak pernah aja ngehina lo sama pisang lo itu," Luna menyuap baksonya.
     "Tapi 'kan nggak seekstrem itu!"
    Luna menelan pentol baso secepat yang dia bisa. "Kemarin, gue denger Kak Aben -gebetan lo yang oke itu- ngomong sama temennya. Katanya dia...nggak suka pisang," ucap Luna, dengan nada berbelasungkawa paling nelangsa.di dunia.
     Rubi shock. Rubi sangat suka pisang. Kak Aben nggak suka pisang. Berdasarkan logika matematika yang baru dipelajarinya tadi, itu artinya, Kak Aben nggak suka Rubi yang sangat suka pisang!
     "Bi, lo nggak apa-apa?" tanya Luna, cemas.
     Rubi menggebrak meja kantin. Bikin seisi kantin keselek, kaget.
    "Kenapa sih dia nggak suka pisang?" tanya Rubi. Hedi dan Luna menggeleng serentak.
     "Pisang itu tuh. Enak, tau! Bergizi! Bisa jadi pengganti nasi. Juga buat diet!" kata Rubi, berapi-api.
     Hedi dan Luna saling lirik.
    "Kalian tau? Selain kelapa, yang pucuk sampe akarnya berguna, ya pisang itu!" Rubi berdiri, menunjuk nasi bungkus di belakang Hedi. "Tuh, itu tuh, kalo nggak pake daun pisang, nggak oke. Nggak cantik. Nggak tradisional. Trus jantung ato bonggolnya, sebelum jadi pisang, bisa disayur. Kalo jantungnya masak dan jadi pisang, enak buat dimakan kapan aja. Apalagi batangnya, bisa dikumpulin buat dijadiin kertas ato serat pakaian, ato buat main di sungai gitu. Pelepahnya bisa jadi kerajinan tangan. Nah, habis itu tunasnya bisa dibikin kripik. Apalagi yang kurang, coba?" Rubi merepet.
     "Kulit pisangnya buat apaan, Bi?"
     Rubi berbalik. Dion mengangkat alisnya, ingin tahu.
     "Kulitnya...ngg...bisa buat ngerjain orang!" sahut Rubi, nggak ilmiah banget.
  Dion tertawa. "Dasar monyet. Segitu ngebelainnya sama pisang," ujarnya, membangkitkan jiwa 'kehutanan'nya.
    "Eh, Dinosaurus! Lo mesti malu sama monyet. Monyet aja lebih milih makanan sehat dan bergizi model pisang daripada makanan kayak ulet gitu!" Rubi menunjuk piring isi mie goreng yang sisa separo, punya Dion.
     Sekarang, bukan hanya Dion yang menatapnya. Seluruh mata tertuju padanya. Terutama ibu kantin, yang mendelik sambil mendesis, karena Rubi menjelek-jelekan dagangan tak sehat, sumber pencahariannya.
     Luna meninggalkan basonya dan menyeret Rubi keluar dari sana.
     "Lo gila, Bi? Lo mempertaruhkan nasib makan siang lo dalam dua tahun ke depan," Luna memarahinya.
     "Biarin. Gue bisa bawa bekal sendiri," kata Rubi, sewot.
    Hedi bergegas mengejar mereka, setelah ngebayarin baso Luna. Dia geleng-geleng. Kalo urusan pisang ini cowok yang ngomong, pasti artinya melenceng dari Kamus Besar Bahasa Indonesia.
     ***
     Rubi nggak sengaja liat Kak Aben turun dari tangga kelas tiga bersama teman-temannya. Dan lihat! Mereka semua menuju ke arah Rubi. Rubi panik seketika. Gimana posisi yang oke tapi nggak keliatan 'niat' ngecengin Kak Aben? Rubi duduk di kursi depan kelas. Berdiri. Lalu duduk lagi. Akhirnya dia memutuskan duduk dan mengeluarkan buah kesayangannya dari dalam kotak makan. Rubi menarik kulit pisang dengan sangat-sangat lambat. Biar keliatan normal. Meski keliatannya nggak wajar. Mereka semakin dekat. Semakin pelan Rubi menarik kulitnya.
     Srreeet...
    "Eh, ini cewek yang kemaren, Ben!" Seseorang duduk di sampingnya. Anak kelas tiga. Temen Kak Aben.
  Jantung Rubi jumpalitan. Mereka berenti di depannya! Dan menyapa Rubi! Hellow~ sejak kapan dreamland pindah ke sekolah? Rubi serasa melayang. Terbang ke awan. Menyapa bintang-bintang, halah! 
     Aben mengamatinya. Lalu tersenyum. "Oiya, lo cewek yang seminar pisang di kantin kemaren 'kan?"
     Rubi meringis. Jadi waktu itu dia ada di sana ya?
     "Seminar lo oke juga. Gue nggak kepikiran. Bisa buat bikin TA bahasa gue tuh," sambung Aben.
     Rubi mengernyit. Kayaknya ada yang salah deh.
     "TA? bukannya kakak nggak suka pisang?" tanya Rubi.
    "Lho? kata siapa?" cowok di samping Rubi bertanya, serius. "Aben ini satu rumpun sama monyet. Dia pecinta pisang nomer satu. Dia hampir ikutan lo seminar waktu itu."
     Cowok di depan Rubi merangkul Aben. "Yoi. Pisang sesuai KBBI, 'kan, Ben?"
      Aben tertawa. "Yaiyalah pisang KBBI! Apaan sih lo?"
      Rubi memandang mereka, bingung.
     "Pisang KBBI? pisang jenis apa tuh, Kak?"
     "Pisang kayak yang lo pegang gitu,"
     "Kalo bukan jenis KBBI?" tanya Rubi, polos.
    "Kalo bukan jenis KBBI, ya KBLL. Kalo pisang sesuai KBLL -Kata Benda Laki-Laki-, itu rahasia!" jawab teman Aben.
    Mereka bertiga tertawa. Perlu waktu bagi Rubi buat menelaah obrolan mereka. Sampai akhirnya Rubi 'ngeh' dan membuat wajahnya sedikit memerah. Rubi malu telah bertanya.
     Sialan si Landak! Hampir bikin gue patah hati! Kak Aben nggak suka pisang, kalo pisangnya sesuai KBLL! Tentu aja. Masa pisang makan pisang?

Rabu, 01 Februari 2012

Menggenggam Pasir Last Part

     Kali ini aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku pasrah. Kuserahkan segalanya pada Tuhan. Berbulan-bulan tak ada yang bisa kulakukan. Aku menungguNya memberikan petunjuk padaku atau mencabut nyawaku. Tapi, mana?! Setelah segenap jiwaku memohon padaNya, tidak ada sedikitpun balasan yang kudapat. Aku marah besar! Cukup sudah! Aku ingin meninggalkanNya, meninggalkan semuanya. Sungguh aku ingin mati! Mati dan membuat mereka menyesal.
      Aku menunggu kematian. Setiap malam selama tiga bulan, berbaring dengan mata terpejam, dan berharap tak akan terbuka selamanya. Ingin mati, tapi tak berani bunuh diri. Aku berdoa tiap malam, agar Tuhan mengirim malaikat mautnya kepadaku. Entah Tuhan terlalu sayang atau terlalu muak padaku. Tak sedikitpun ada tanda-tanda dia ingin 'membawaku'. KetidakpedulianNya sungguh menyiksaku. Dan...malam itu, aku seperti ditampar. Telak. Aku tersadar. Tuhan tidak akan berbuat apapun untuk kita, jika kita sendiri tidak melakukan apapun. 
     Perlahan...aku bangkit dan membentuk jalanku sendiri, walaupun aku yakin, ada campur tanganNya di situ. Hanya ada satu cara! Menyelamatkan yang masih tersisa. Meski aku tak bisa memperbaiki apa yang sudah hancur. Setidaknya aku bisa mencegah sesuatu yang lebih buruk terjadi. Aku...ingin berteman dengannya. Ingin mengerti keadaannya. Aku ingin Ita bisa bersandar padaku. Bisa mengandalkanku sebagai kakak. Sehingga dia tak perlu memendam semuanya sendirian lagi. Aku mulai mengajaknya berkomunikasi, sedikit demi sedikit. Setiap melihat dirinya, sebagian diriku marah karena kecewa padanya. Tega-teganya dia berbuat seperti itu! Tapi sebagian diriku yang lain menangis. Aku yakin hal-hal ini lebih membuatnya tersiksa. Jauh melebihi perasaan terlukaku. Saat aku benar-benar menginginkan keadaan kami berdua membaik, Tuhan memberiku jalan. Aku bisa lebih dekat dengannya, dengan masuk ke dunia pergaulannya. Satu demi satu kukenal sahabat-sahabat Ita. Aku bisa berbicara dengannya lebih leluasa. Akhirnya kami saling mengenal.
        Lucu memang. Dua saudara, bertahun-tahun bersama, tapi tak pernah duduk berdua di satu tempat. Tak ada satupun di dunia ini yang bisa menukar kebahagiaanku karena aku bisa dekat dengannya. Ita, yang dulu sering sakit-sakitan, selalu dilarang untuk berbuat sesuatu yang diinginkannya. Ayahku tidak peduli. Ibuku memarahinya dan aku membencinya. Setiap hal yang dilakukannya adalah salah. Ita dikungkung seperti orang pesakitan. Dikurung dengan jeruji 'larangan'. Dan merasa diperlakukan seperti anak buangan. Padahal itu semua demi kesehatannya. Justru karena umbul-umbul fisik ambruk dan tekanan mental, akhirnya dia berbuat demikian. Bagai pasir yang semakin erat digenggam, semakin banyak yang hilang. Kami terlalu erat 'menggenggamnya' hingga tak sadar bahwa dia 'hilang' dari 'genggaman'. Sekarang, aku mampu membaca jalan pikirannya. Aku berjanji, tak akan membiarkannya sendirian lagi. Aku berjanji!
       Aku berusaha melupakan Feri, walaupun itu tidak mudah. Aku berani melepaskannya dari pikiranku. Sebagai gantinya, aku mendapatkan Ita kembali ke sisiku. Itu sudah lebih dari cukup. Dan ayah? Beruntunglah kalian yang punya ayah walaupun sudah meninggal. Setidaknya mereka menyayangi kalian semasa hidup. Sementara kami, memiliki ayah yang masih hidup, tapi 'mati' perasaan terhadap kami. Aku tak pernah punya solusi untuknya. Bertahun-tahun segala upaya menumbuhkan rasa memiliki telah ibu dan aku lakukan. Tapi ketidakpeduliannya sungguh mencengangkan.  Aku tak peduli. Aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa pasir yang bisa kulindungi. Yang masih berusaha saling menguatkan rasa sayang. Sungguh. Aku tak peduli lagi padanya. Selama aku  masih berdiri di sisi Ibu dan Ita. Aku bahagia.