Rabu, 01 Februari 2012

Menggenggam Pasir Last Part

     Kali ini aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku pasrah. Kuserahkan segalanya pada Tuhan. Berbulan-bulan tak ada yang bisa kulakukan. Aku menungguNya memberikan petunjuk padaku atau mencabut nyawaku. Tapi, mana?! Setelah segenap jiwaku memohon padaNya, tidak ada sedikitpun balasan yang kudapat. Aku marah besar! Cukup sudah! Aku ingin meninggalkanNya, meninggalkan semuanya. Sungguh aku ingin mati! Mati dan membuat mereka menyesal.
      Aku menunggu kematian. Setiap malam selama tiga bulan, berbaring dengan mata terpejam, dan berharap tak akan terbuka selamanya. Ingin mati, tapi tak berani bunuh diri. Aku berdoa tiap malam, agar Tuhan mengirim malaikat mautnya kepadaku. Entah Tuhan terlalu sayang atau terlalu muak padaku. Tak sedikitpun ada tanda-tanda dia ingin 'membawaku'. KetidakpedulianNya sungguh menyiksaku. Dan...malam itu, aku seperti ditampar. Telak. Aku tersadar. Tuhan tidak akan berbuat apapun untuk kita, jika kita sendiri tidak melakukan apapun. 
     Perlahan...aku bangkit dan membentuk jalanku sendiri, walaupun aku yakin, ada campur tanganNya di situ. Hanya ada satu cara! Menyelamatkan yang masih tersisa. Meski aku tak bisa memperbaiki apa yang sudah hancur. Setidaknya aku bisa mencegah sesuatu yang lebih buruk terjadi. Aku...ingin berteman dengannya. Ingin mengerti keadaannya. Aku ingin Ita bisa bersandar padaku. Bisa mengandalkanku sebagai kakak. Sehingga dia tak perlu memendam semuanya sendirian lagi. Aku mulai mengajaknya berkomunikasi, sedikit demi sedikit. Setiap melihat dirinya, sebagian diriku marah karena kecewa padanya. Tega-teganya dia berbuat seperti itu! Tapi sebagian diriku yang lain menangis. Aku yakin hal-hal ini lebih membuatnya tersiksa. Jauh melebihi perasaan terlukaku. Saat aku benar-benar menginginkan keadaan kami berdua membaik, Tuhan memberiku jalan. Aku bisa lebih dekat dengannya, dengan masuk ke dunia pergaulannya. Satu demi satu kukenal sahabat-sahabat Ita. Aku bisa berbicara dengannya lebih leluasa. Akhirnya kami saling mengenal.
        Lucu memang. Dua saudara, bertahun-tahun bersama, tapi tak pernah duduk berdua di satu tempat. Tak ada satupun di dunia ini yang bisa menukar kebahagiaanku karena aku bisa dekat dengannya. Ita, yang dulu sering sakit-sakitan, selalu dilarang untuk berbuat sesuatu yang diinginkannya. Ayahku tidak peduli. Ibuku memarahinya dan aku membencinya. Setiap hal yang dilakukannya adalah salah. Ita dikungkung seperti orang pesakitan. Dikurung dengan jeruji 'larangan'. Dan merasa diperlakukan seperti anak buangan. Padahal itu semua demi kesehatannya. Justru karena umbul-umbul fisik ambruk dan tekanan mental, akhirnya dia berbuat demikian. Bagai pasir yang semakin erat digenggam, semakin banyak yang hilang. Kami terlalu erat 'menggenggamnya' hingga tak sadar bahwa dia 'hilang' dari 'genggaman'. Sekarang, aku mampu membaca jalan pikirannya. Aku berjanji, tak akan membiarkannya sendirian lagi. Aku berjanji!
       Aku berusaha melupakan Feri, walaupun itu tidak mudah. Aku berani melepaskannya dari pikiranku. Sebagai gantinya, aku mendapatkan Ita kembali ke sisiku. Itu sudah lebih dari cukup. Dan ayah? Beruntunglah kalian yang punya ayah walaupun sudah meninggal. Setidaknya mereka menyayangi kalian semasa hidup. Sementara kami, memiliki ayah yang masih hidup, tapi 'mati' perasaan terhadap kami. Aku tak pernah punya solusi untuknya. Bertahun-tahun segala upaya menumbuhkan rasa memiliki telah ibu dan aku lakukan. Tapi ketidakpeduliannya sungguh mencengangkan.  Aku tak peduli. Aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa pasir yang bisa kulindungi. Yang masih berusaha saling menguatkan rasa sayang. Sungguh. Aku tak peduli lagi padanya. Selama aku  masih berdiri di sisi Ibu dan Ita. Aku bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar